Kondisi
bangsa dipengaruhi oleh lingkungan strategis, baik yang bersifat nasional,
regional, maupun internasional. Kondisi bangsa saat ini dapat dipaparkan sebagai
mana berikut : Keadaan bangsa Indonesia
sejak tahun 1997/1998 dilanda krisis multidimensi yang dampaknya sedang kita
alami hingga saat ini dan tak kunjung selesai. Berawal dari adanya krisis
moneter, ekonomi, politik, hukum, kepercayaan, kepemimpinan, dan yang sangat
fatal adalah adanya krisis akhlak dan moral yang mempunyai dampak berkelanjutan
sampai hari ini. Krisis yang semula merupakan krisis identitas menjadi lebih
dalam karena menyangkut masalah hati nurani yang mencerminkan adanya krisis karakter,
terlebih lagi adanya krisis yang berkaitan dengan jati diri.
Akar
permasalahan dari krisis multidimensi memang berawal dari munculnya faktor eksternal, tetapi
justru yang lebih menentukan keadaan bangsa berawal dari faktor internal di
mana masalah ideologi, politik, ekonomi, sosial/budaya, dan pertahanan
keamanan, semuanya penting tetapi
bermasalah. Dan sumber utama atau akar permasalahannya justru ada pada faktor
manusia itu sendiri, manusia Indonesia.
Jika
akar permasalahannya adalah manusianya, perlu didalami tentang manusia pada
umumnya dan manusia Indonesia pada khususnya. Sebenarnya, manusia Indonesia
tidak kalah cerdas dengan bangsa lain. Kita tidak bermasalah dengan IQ atau
otak kita, yang menjadi masalah justru adalah yang berkaitan dengan hati nurani
yang mencerminkan karakter dan jati dirinya.
Penampilan
manusia Indonesia yang cukup banyak ditemukan adalah sosok yang tidak tulus
ikhlas (tidak sincere), tidak bersungguh-sungguh, senang yang semu, senang
berbasa-basi, bahkan sempat melanggengkan budaya ABS (Asal Bapak Senang). Dalam
kinerja hal itu ditampilkan dengan sikap-sikap : tidak bisa dipegang
kata-katanya, tidak bisa dipegang janjinya, mengelak dari tanggung jawab,
saling menyalahkan serta saling hujat atau dengan kata lain tidak ada satunya
kata dan bahasa.
Kita
ketahui bahwa ketahanan bangsa atau
ketahanan nasional Indonesia ditumbuhkembangkan mengacu pada suatu konsepsi
yang disebut konsepsi ketahanan nasional Indonesia. Konsepsi ini merupakan
suatu tuntutan yang bersifat makro, topdown,
dan digunakan sebagai acuan pembuatan policy
antara lain dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional. Konsepsi ini mengacu
kepada Pancasila, UUD’45, dan Wawasan Kebangsaan yang dituangkan sebagai
Wawasan Nusantara.
Penampilan
seseorang secara utuh dapat digambarkan dengan suatu simol yang berisi tiga
lapis. Lapis pertama menunjukkan kepribadian yang ditampilkan keseharian
(identitas dan temperamen). Lapisan kedua adalah karakter dan lapisan ketiga
adalah jati diri.
Jati
diri berasal dari bahasa Jawa : Sejatining
diri yang berarti adalah siapa diri kita sesungguhnya, hakikat atau fitrah
manusia, juga disebut nur Ilahi yang berisikan sifat-sifat dasar manusia yang
murni dari Tuhan yang berisikan percikan-percikan sifat Ilahiah dalam batas
kemampuas insani yang dibawa sejak lahir. Dengan kata lain, orang yang berjati
diri akan mampu memadukan antara cipta
(olah pikir / the head), karsa (kehendak dan karya/the hand), dan rasa (olah hati/the hearth).
Sementara orang Indonesia sekaang baru mampu menampilkan cipta dan
karsanya, sedangkan unsur rasa belum
ditampilkan padahal di dalamnya justru terdapat karkater maupun jati diri
seseorang.
Keterkaitan
antara jati diri, karakter, dan pemikiran serta perilaku sebagai suatu proses
berawal dari jati diri yang merupakan fitrah manusia, yang mengandung
sifat-sifat dasar yang diberikan oleh Tuhan dan merupakan potensi yang dapat
memancar dan ditumbuhkembangkan. Dengan demikian, tampilan-tampilan yang akan
dilahirkan bergantung pada pemikiran karakter seseorang.
Jati
diri bangsa tampil dalam tiga fungsi, yaitu : 1. Penanda keberadaan atau
eksistensinya, 2. Pencerminan kondisi bangsa yang menampilkan kematangan jiwa,
daya juang dan kekuatan bangsa, 3. Pembeda dengan bangsa lain di dunia.
Wawasan
kebangsaan adalah cara pandang kita terhadap diri sendiri sebagai bangsa yang
harus mencerminkan rasa dan semangat kebangsaan (karakter bangsa) dan mampu
mempertahankan jati dirinya sebaagai bangsa, yaitu Pancasila. Kalau wawasan
kebangsaan dicanangkan oleh suatu bangsa yang belum mantap jati dirinya sebagai
bangsa, wawasan kebangsaan hanya akan merupakan wacana belaka atau suatu intelektual exercise yang tentunya
kurang bermanfaat.
Bangsa
yang didorong oleh semangat dan karakter bangsanya akan menjadi bangsa yang
maju dan jaya, sedangkan bangsa yang kehilangan karakter bangsanya akan
terhapus dari muka bumi.
Dalam
pembangunan karakter, paling tidak ada empat koridor yang diperlukan, yaitu :
1. Internalisasi tata nilai, 2. Menyadari mana yang boleh dan mana yang tidak
boleh (The does and the don’ts), 3.
Membentuk kebiasaan (habit forming)
dan 4. Menjadi Teladan (Role model)
sebagai pribadi karakter.
Apabila
kita melihat pembangunan karakter yang merupakan proses tiada henti, maka dalam kehidupan kita dapat dibagi empat
tahapan pembangunan karakter, yaitu : 1. Pada usia dini, kita sebut sebagai
tahap pembentukan, 2. Pada usia remaja, kita sebut tahap pengembangan, 3. Pada
usia dewasa, kita sebut tahap pemantapan, 4. Pada usia tua, kita sebut tahap pembijaksanaan. Kuat atau
lemahnya ketahanan pribadi akan menghasilkan kuat atau lemahnya ketahanan
keluarga dan sebaliknya.
Dalam
mewujudkan hasrat untuk berubah tentunya kita harus mulai dari diri kita
sendiri, kita harus menemukenali diri sendiri sebagai cara terbaik untuk
intropeksi, lalu membangun jati diri melalui membangun karakter.
Sebagai
langkah awal, membangun karakter dapat dilakukan dengan mempertimbangkan rumus
5+3+3 atau 11 kebiasaan. Yaitu 5 sikap dasar, 3 syarat, dan 3 cara.
Disposisi guru efektif harus bisa menampilkan dan
memiliki kualifikasi seperti : 1. Empati,
2. Pandangan yang positif terhadap orang
lain, 3. Pandangan yang positif
terhadap diri sendiri, 4. Autentik,
dan 5. Memiliki visi dan tujuan yang
bermakna.
Source :
Membangun Kembali Jati Diri Bangsa |
0 komentar:
Post a Comment