:::: MENU ::::
  • "Learn To Program a Computer, It Teaches You How To Think"-Steve Jobs

  • "Teaching is Leading"-Anonymous

  • "Writing! Then the World Will Know You"-Anonymous

Tuesday, January 27, 2015

Hakikat perubahan seperti yang kita ketahui adalah dunia akan terus berubah, tidak ada yang kekal, yang kekal  adalah perubahan itu sendiri. Bagi yang tidak mampu menyesuaikan dengan perubahan itu maka akan tertinggal atau terlindas oleh  perubahan itu sendiri.

Kondisi bangsa dipengaruhi oleh lingkungan strategis, baik yang bersifat nasional, regional, maupun internasional. Kondisi bangsa saat ini dapat dipaparkan sebagai mana berikut : Keadaan bangsa  Indonesia sejak tahun 1997/1998 dilanda krisis multidimensi yang dampaknya sedang kita alami hingga saat ini dan tak kunjung selesai. Berawal dari adanya krisis moneter, ekonomi, politik, hukum, kepercayaan, kepemimpinan, dan yang sangat fatal adalah adanya krisis akhlak dan moral yang mempunyai dampak berkelanjutan sampai hari ini. Krisis yang semula merupakan krisis identitas menjadi lebih dalam karena menyangkut masalah hati nurani yang mencerminkan adanya krisis karakter, terlebih lagi adanya krisis yang berkaitan dengan jati diri.

Akar permasalahan dari krisis multidimensi memang berawal  dari munculnya faktor eksternal, tetapi justru yang lebih menentukan keadaan bangsa berawal dari faktor internal di mana masalah ideologi, politik, ekonomi, sosial/budaya, dan pertahanan keamanan,  semuanya penting tetapi bermasalah. Dan sumber utama atau akar permasalahannya justru ada pada faktor manusia itu sendiri,  manusia Indonesia.

Jika akar permasalahannya adalah manusianya, perlu didalami tentang manusia pada umumnya dan manusia Indonesia pada khususnya. Sebenarnya, manusia Indonesia tidak kalah cerdas dengan bangsa lain. Kita tidak bermasalah dengan IQ atau otak kita, yang menjadi masalah justru adalah yang berkaitan dengan hati nurani yang mencerminkan karakter dan jati dirinya.

Penampilan manusia Indonesia yang cukup banyak ditemukan adalah sosok yang tidak tulus ikhlas (tidak sincere), tidak bersungguh-sungguh, senang yang semu, senang berbasa-basi, bahkan sempat melanggengkan budaya ABS (Asal Bapak Senang). Dalam kinerja hal itu ditampilkan dengan sikap-sikap : tidak bisa dipegang kata-katanya, tidak bisa dipegang janjinya, mengelak dari tanggung jawab, saling menyalahkan serta saling hujat atau dengan kata lain tidak ada satunya kata dan bahasa.

Kita ketahui  bahwa ketahanan bangsa atau ketahanan nasional Indonesia ditumbuhkembangkan mengacu pada suatu konsepsi yang disebut konsepsi ketahanan nasional Indonesia. Konsepsi ini merupakan suatu tuntutan yang bersifat makro, topdown, dan digunakan sebagai acuan pembuatan policy antara lain dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional. Konsepsi ini mengacu kepada Pancasila, UUD’45, dan Wawasan Kebangsaan yang dituangkan sebagai Wawasan Nusantara.

Penampilan seseorang secara utuh dapat digambarkan dengan suatu simol yang berisi tiga lapis. Lapis pertama menunjukkan kepribadian yang ditampilkan keseharian (identitas dan temperamen). Lapisan kedua adalah karakter dan lapisan ketiga adalah jati diri.

Jati diri berasal dari bahasa Jawa : Sejatining diri yang berarti adalah siapa diri kita sesungguhnya, hakikat atau fitrah manusia, juga disebut nur Ilahi yang berisikan sifat-sifat dasar manusia yang murni dari Tuhan yang berisikan percikan-percikan sifat Ilahiah dalam batas kemampuas insani yang dibawa sejak lahir. Dengan kata lain, orang yang berjati diri akan mampu memadukan antara cipta (olah pikir / the head), karsa (kehendak dan karya/the hand), dan rasa (olah hati/the hearth). Sementara orang Indonesia sekaang baru mampu menampilkan cipta dan karsanya,  sedangkan unsur rasa belum ditampilkan padahal di dalamnya justru terdapat karkater maupun jati diri seseorang.

Keterkaitan antara jati diri, karakter, dan pemikiran serta perilaku sebagai suatu proses berawal dari jati diri yang merupakan fitrah manusia, yang mengandung sifat-sifat dasar yang diberikan oleh Tuhan dan merupakan potensi yang dapat memancar dan ditumbuhkembangkan. Dengan demikian, tampilan-tampilan yang akan dilahirkan bergantung pada pemikiran karakter seseorang.

Jati diri bangsa tampil dalam tiga fungsi, yaitu : 1. Penanda keberadaan atau eksistensinya, 2. Pencerminan kondisi bangsa yang menampilkan kematangan jiwa, daya juang dan kekuatan bangsa, 3. Pembeda dengan bangsa lain di dunia.

Wawasan kebangsaan adalah cara pandang kita terhadap diri sendiri sebagai bangsa yang harus mencerminkan rasa dan semangat kebangsaan (karakter bangsa) dan mampu mempertahankan jati dirinya sebaagai bangsa, yaitu Pancasila. Kalau wawasan kebangsaan dicanangkan oleh suatu bangsa yang belum mantap jati dirinya sebagai bangsa, wawasan kebangsaan hanya akan merupakan wacana belaka atau suatu intelektual exercise yang tentunya kurang bermanfaat.

Bangsa yang didorong oleh semangat dan karakter bangsanya akan menjadi bangsa yang maju dan jaya, sedangkan bangsa yang kehilangan karakter bangsanya akan terhapus dari muka  bumi.

Dalam pembangunan karakter, paling tidak ada empat koridor yang diperlukan, yaitu : 1. Internalisasi tata nilai, 2. Menyadari mana yang boleh dan mana yang tidak boleh (The does and the don’ts), 3. Membentuk kebiasaan (habit forming) dan 4. Menjadi Teladan (Role model) sebagai pribadi karakter.

Apabila kita melihat pembangunan karakter yang merupakan proses tiada henti,  maka dalam kehidupan kita dapat dibagi empat tahapan pembangunan karakter, yaitu : 1. Pada usia dini, kita sebut sebagai tahap pembentukan, 2. Pada usia remaja, kita sebut tahap pengembangan, 3. Pada usia dewasa, kita sebut tahap pemantapan, 4. Pada usia tua,  kita sebut tahap pembijaksanaan. Kuat atau lemahnya ketahanan pribadi akan menghasilkan kuat atau lemahnya ketahanan keluarga dan sebaliknya.

Dalam mewujudkan hasrat untuk berubah tentunya kita harus mulai dari diri kita sendiri, kita harus menemukenali diri sendiri sebagai cara terbaik untuk intropeksi, lalu membangun jati diri melalui membangun karakter.

Sebagai langkah awal, membangun karakter dapat dilakukan dengan mempertimbangkan rumus 5+3+3 atau 11 kebiasaan. Yaitu 5 sikap dasar, 3 syarat, dan 3 cara.


Disposisi guru efektif harus bisa menampilkan dan memiliki kualifikasi seperti : 1. Empati, 2. Pandangan yang positif terhadap orang lain, 3. Pandangan yang positif terhadap diri sendiri, 4. Autentik, dan 5. Memiliki visi dan tujuan yang bermakna.
Source :
Membangun Kembali Jati Diri Bangsa

0 komentar:

Post a Comment